Kedua, pihaknya mengimbau pada saat usai pencoblosan pemilu, 14 Februari 2024, agar para kontestan, pendukung kontestan, dan pemilih, jika mereka menang dengan suara terbanyak, untuk segera istighfar (minta ampunan kepada Allah) dan tidak berlebihan dalam euforia hingga muncul rasa sombong, takabur, dan lupa diri bahkan merendahkan pihak-pihak lain yang dianggap kalah.
Demikian pula, bagi mereka yang belum diberikan kesempatan kepada rakyat, memperoleh suara terbanyak agar segera intropeksi, mawas diri (uraqabah), dan sabar dengan tidak langsung menyalahkan pihak lain bertindak curang dan berkhianat. Gunakan prosedur hukum yang berlaku jika pihak Anda merasa teraniaya dan terkalahkan.
“Kami berharap pula agar masyarakat melakukan pengawasan dan pengawalan terhadap tindakan manipulasi suara, penggiringan opini, tekanan, dan lainnya. Demikian pula, para petugas pemilu dan kontestan, jangan sampai ada niatan dan praktik manipulatif dalam perhitungan suara sehingga rawan menimbulkan masalah krusial ke depan dan bisa meluruhkan spirit kebersamaan sebagai warga negara,” tuturnya.
Ketiga, kontestasi Pemilu 2024 yakinilah bahwa itu bukan segala-galanya yang akan mementukan nasib bangsa ke depan. Apalagi dalam kontestasi politik seperti itu berlaku diktum: “siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana”. Bahkan seolah berlaku teorema politik: “tidak ada kawan dan musuh abadi, yang ada adalah kepentingan abadi”. Sehingga acapkali praktik politik begitu cair dan licik.
Mukhaer yang juga merupakan Wakil Ketua Majelis Ekonomi, Bisnis, dan Pariwisata Pimpinan Pusat Muhammadiyah (MBEP PP Muhammadiyah) ini menjelaskan dengan praktik pragmatisme dan machiavealisme politik yang begitu nyata seperti itu, dan tidak lagi menjadikan praktik politik sebagai jihad adiluhung untuk peningkatan derajat dan kualitas rakyat dan bangsa.