Malam 1 Suro Menggema, Reog Ponorogo Membakar Semangat di Gunung Putri

(Suasana pertunjukan Reog Ponorogo)

 

Natuna, News Faktual Net –
Malam perlahan turun di Desa Gunung Putri. Langit Natuna menebar gulita, namun di Gedung Astaka, justru terang memancar dari panggung tradisi. Dentuman gendang, tiupan seruling, dan sorakan penonton menjadi saksi Reog Ponorogo, dari tanah Jawa, mengguncang bumi Melayu.

Ini bukan sekadar pertunjukan seni. Di balik topeng singa barong dan tarian jathilan, tersimpan ritual sakral, spiritualitas malam 1 Suro, dan semangat pelestarian budaya membara.

Sanggar Reog Singo Budhoyo dan Singo Mudho, dua kelompok seni menjadi nadi Reog di Natuna, bersatu malam itu. Dibantu tim Sound Horeg GS Audio dari Kota Ranai, mereka menyuguhkan pertunjukan megah,dan penuh makna.

“Acara ini bukan hanya hiburan. Ini adalah doa, ini adalah jati diri,” ucap Sarbini, sesepuh Reog dari Gunung Putri. Ia berdiri di antara barisan penari muda, matanya berkaca-kaca melihat semangat generasi penerus.

Dan memang, malam itu, tak ada batas usia. Anak-anak berlari kecil di pelataran, orang tua duduk bersila di tikar, para pemuda memegang alat musik. Semua larut dalam euforia yang jarang terlihat dalam kehidupan desa sehari-hari.

Lebih dari sekadar tontonan, Reog malam 1 Suro menjadi denyut baru bagi ekonomi desa. Penjual cilok, es tebu, dan keripik singkong kebanjiran pembeli. UMKM lokal mendulang rezeki, seperti ikut menari di antara barongan dan dadak merak.

Namun bukan uang semata yang membuat malam itu hidup. Ada emosi, ada energi kolektif dari sebuah desa yang ingin lebih dari sekadar dikenal. Mereka ingin diingat.

Kehadiran Reog di Natuna bukan hal baru. April lalu, ribuan warga memadati Alun-Alun Pantai Piwang untuk menyaksikan pertunjukan serupa. Tapi ada yang berbeda malam ini. Suasana desa, kolaborasi lintas generasi, dan semangat untuk menjadikan malam 1 Suro sebagai agenda tetap.

“Insyaallah, mulai tahun ini, setiap malam 1 Suro akan selalu ada Reog di Gunung Putri,” kata Sarbini penuh semangat.

Di tengah arus budaya modern yang deras, semangat pelestarian ini menjadi napas segar. Anak-anak yang menonton hari ini, siapa tahu besok akan menjadi penari Reog, atau bahkan tokoh seni seperti Sarbini.

Di tanah yang jauh dari Ponorogo, Reog tidak kehilangan makna. Ia tidak luntur, tidak kehilangan sakralitas. Ia hanya berpindah rumah, menanam akar baru di Natuna, di Gunung Putri.

Dan jika malam itu adalah awal, maka masa depan Reog di tanah perbatasan ini tampaknya akan panjang dan terang seperti cahaya panggung yang terus menyala hingga dini hari, ditemani suara gong, sorakan penonton, dan doa tak terdengar tapi terasa.(Roy)



telah dibaca :
121